Tanaman baik pertumbuhan maupun produksinya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu genetika dan lingkungan tempat tumbuhnya. Untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik, maka kedua faktor tersebut harus berada dalam kondisi yang optimum. Demikian pula halnya dengan produksinya, jumlah dan mutu produksi tanaman akan maksimum bila kedua faktor utama tersebut berada dalam kondisi yang optimum. Secara matematis, para ahli pertanian sering menuangkan hubungan penampilan tanaman dengan faktor genetika dan lingkungan ini dalam suatu persamaan P = G + E, di mana P adalah penampilan tanaman (phenotipic), G adalah genetik dan E adalah lingkungan (Environment). Bila salah satu dari kedua faktor tersebut tidak optimum, maka pertumbuhan dan hasil tanaman tidak akan maksimum.
Faktor genetika terkait dengan keanekaragaman hayati (biodiversity). Menurut Mardiastuti (1999), pengertian keanekaragaman hayati adalah kelimpahan berbagai jenis sumberdaya alam hayati (tumbuhan dan hewan) yang terdapat di muka bumi. Semakin tinggi keanekaragaman hayati maka semakin berlimpah pula sumber pilihan yang tersedia. Dengan demikian, bila keanekaragaman hayati tinggi, maka kita bisa memilih untuk mendapatkan tanaman yang terbaik.
Kemampuan kita memilih tanaman ini mempunyai konsekuensi terhadap hasil akhir yang akan kita tuai. Bila susunan gen dari tanaman yang terpilih itu baik dan sesuai dengan lingkungannya, maka baik pulalah penampilan tanaman tersebut. Sebaliknya bila susunan gen tanaman terpilih buruk maka buruk pula penampilan yang akan diperlihatkannya nanti.
Keberadaan faktor genetika dalam fungsinya terhadap fenotipe tanaman adalah tunggal, yaitu hanya susunan gennya yang ada pada tanaman tersebut saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Sebaliknya, keberadaan faktor lingkungan adalah jamak. Faktor lingkungan ini bisa berupa lingkungan biotik dan juga lingkungan abiotik.
Lingkungan biotik bisa berupa hama, penyakit, dan gulma. Ada banyak jenis hama dari yang berukuran besar seperti babi (manusia juga termasuk) sampai yang berukuran sangat kecil, seperti tungau. Demikian pula penyakit, banyak dan beragam sekali jumlahnya. Gulma juga tidak kalah beragamnya. Keberadaan makhluk biotik ini umumnya bersifat negatif. Artinya, kehadirannya membawa kerugian bagi pertumbuhan dan hasil tanaman. Kekecualian ada pada beberapa jenis mikroorganisme seperti rizhobium, mikoriza, dan sedikit jenis lainnya.
Lingkungan abiotik dapat dibagi menjadi iklim mikro dan kondisi tanah (media tumbuh tanaman). Iklim mikro ini memiliki banyak sekali unsur-unsurnya. Menurut Encyclopedia Britannica (2012), iklim mikro adalah kondisi iklim dalam wilayah yang relatif sempit, beberapa meter atau kurang di atas dan di bawah permukaan tanah dan dalam kanopi vegetasi. Kondisinya tergantung pada suhu, kelembaban, angin dan turbulen, embun, salju, panas, dan evaporasi. Sepertinya, ada yang kelupaan, cahaya matahari tidak tersebut. Padahal cahaya matahari atau radiasi surya merupakan unsur iklim utama. Menurut Haris 1999, intensistas radiasi surya berpengaruh langsung terhadap perubahan unsur iklim mikro lainnya.
Kondisi tanah atau tempat tumbuhnya tanaman juga berunsur jamak. Setidaknya ada 3 unsur penyusunnya, yaitu hara, air, dan udara. Menurut UmassAmherst (2012) media tumbuh terdiri dari campuran bahan yang menyediakan air, udara dan hara dan juga menopang tanaman. Lebih jauh, hara dan ketersediaannya di dalam tanah sangat kompleks dan dipengaruhi oleh banyak variabel, sebut saja seperti struktur, tekstur, koloid, kelembaban, pH, kation, anion, dan mikroorganisme tanah.
Untuk memprediksi jumlah dan mutu yang dapat diambil dari suatu tanaman, maka semua faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman di atas bisa digunakan. Masalahnya, jumlah faktor yang mempengaruhi fenotipe tanaman tersebut banyak sekali. Model persamaan P = G + E di atas, bila kita perincikan bisa menjadi P = G + E1 + E2 + E3 + … + En, di mana n adalah jumlah anggota dari unsur-unsur faktor lingkungan yang jumlahnya sangat banyak sekali. Dengan sekian banyaknya variabel, maka kegiatan memprediksi menjadi sulit sekali dan mungkin juga kurang berfaedah. Agar berfaedah, maka seyogianya variabel prediktor tidak terlalu banyak. Syukur-syukur bisa hanya satu variabel prediktor saja. Untuk itu, perlu “dicari” sedikit variabel yang kuat dari sekian banyak faktor-faktor yang mempengaruhi fenotipe tanaman.
Dari segi statistika, pemilihan variabel prediktor bisa dilihat dari jenis variabelnya. Ada 2 jenis variabel, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Variabel kuantitatif lebih baik digunakan untuk memprediksi daripada variabel kualitatif. Menurut Suriasumantri (1999), variable kuantitatif dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih tepat dan lebih cermat. Dengan demikian langkah pertama adalah memungut variabel kuantitatif dan menyingkirkan variabel kualitatif dari model. Menurut Sudjana (1994), ciri variable kuantitatif (yang kontinu) adalah variabel tersebut dapat diukur dengan alat.
Dari sekian banyak variabel kuantitatif yang ada di dalam model, kemudian dipilih hanya beberapa saja yang layak. Variabel yang layak dipilih adalah variabel yang memiliki determinasi dan hubungan yang kuat terhadap fenotipe tanaman. Dalam membangun model pada regresi berganda, kita bisa memilih beberapa variabel yang penting berdasarkan koefisien determinasi dan koefisien korelasi (CoHort Software, 1998). Semakin besar magnitut koefisien determinasi dan korelasi dari suatu variabel, maka semakin kuat pula daya prediksi faktor tersebut terhadap fenotipe (jumlah dan mutu) tanaman. Oleh karena itu, faktor-faktor yang demikian baik digunakan sebagai prediktor.
Masalahnya, bagaimana caranya kita tahu variabel yang mana yang memiliki daya prediksi yang kuat. Secara keilmuan, tidak ada cara lain selain dengan cara empiris, yakni melakukan penelitian lewat eksperimen. Kalau begitu, jawabannya tidak bisa sekarang karena perlu waktu lama untuk melakukan percobaan. Akan tetapi secara deduktif, kita bisa memilih beberapa variabel prediktor dengan menggunakan pendekatan teori atau hukum-hukum yang telah dikembangkan oleh para ahli fisiologi tanaman. Menurut hukum minimum Leibig (1984), pertumbuhan suatu spesies tergantung pada faktor lingkungan yang paling kritis.
Pengertiannya, pertumbuhan dan juga hasil baik jumlah dan mutunya dibatasi oleh faktor lingkungan yang paling kritis. Sebagai contoh, faktor genetika bagus, hara cukup, tetapi air tidak ada, maka air merupakan faktor kritis. Oleh karenanya, penampilan tanaman tergantung pada air yang tidak ada tersebut, ya pertumbuhannya merana atau bahkan tidak bertumbuh sama sekali.
Bila kita lihat secara mendalam, dari sekian banyak faktor yang ada di dalam model, maka barangkali hanya ada 2 variabel yang menjadi faktor yang paling kritis, yaitu cahaya matahari dan suhu. Mengapa demikian, karena kedua variabel tersebut memiliki sumber yang sangat jauh dan tidak terjangkau oleh manusia. Dengan kata lain, kedua variabel tersebut tidak manageable. Maksudnya, kendatipun kita mau, karena sumbernya tidak terjangkau oleh kita, maka kita tidak dapat secara langsung memanipulasinya kepada taraf yang kita maukan. Sebaliknya variable lainnya adalah manageable. Pengertiannya, bila kita mau kita bisa menyediakan faktor-faktor tersebut kepada taraf yang optimum.
Dengan demikian sebenarnya hanya ada 2 variabel yang layak dimasukkan dalam model, yaitu cahaya matahari dan suhu. Kedua variabel ini sering digunakan untuk memprediksi pertumbuhan dan mutu dari suatu tanaman. Suhu pernah digunakan untuk memprediksi waktu pembungaan dan waktu panen. Menurut Syakur et al. (2011), pembungaan dan masak fisiologis tanaman tomat dapat diprediksi dengan menggunakan data iklim mikro (termasuk suhu) dan data parameter pertumbuhan. MacKenzie dan Chandler (2009) juga menggunakan suhu untuk memprediksi hasil tanaman dan ia menemukan bahwa ada hubungan yang nyata antara tren suhu dengan jumlah bunga dan hasil tanaman strawberry.
Berbeda dengan suhu, maka cahaya matahari lebih susah dimanipulasi. Kendatipun sumbernya jauh, suhu masih dimungkinkan untuk dimanipulasi secara langsung. Orang bisa menambah suhu dan juga bisa menurunkan suhu dengan tingkat yang tidak terlalu sulit. Di Eropa, orang membangun rumah kaca untuk meningkatkan suhu agar dapat bertanam. Di Timur Tengah orang bisa juga bertanam dengan membangun rumah tanam dengan berpendingin. Akan tetapi, cahaya matahari sulit dimanipulasi secara langsung.
Cahaya matahari bisa diturunkan intensitasnya dengan berbagai cara. Orang bisa membuat pelindung, membuat atap setengah transparan dan sejenisnya untuk mengurangi intensitas cahaya matahari. Akan tetapi orang tidak bisa (sulit sekali dan perlu biaya yang sangat mahal) menambah intensitas cahaya matahari. Dengan demikian, cahaya matahari merupakan faktor yang paling kritis. Oleh karena itu, pada hakikatnya penampilan tanaman dibatasi oleh cahaya matahari. Gardner et al. (1985) menyatakan bahwa pada hakikatnya jumlah cahaya yang diterima oleh bumi adalah konstan.
Bagi tanaman cahaya matahari merupakan unsur yang sangat penting. Proses fotosintesis yang merupakan reaksi metabolisme pembentukan karbohidrat bergantung sepenuhnya kepada cahaya matahari. Tanpa cahaya matahari, proses fotosintesis tidak akan berlangsung. Salisbury and Ross (1992) menyatakan bahwa reaksi terang dari fotosintesis tidak akan berlangsung tanpa kehadiran cahaya. Karena cahaya matahari yang digunakan untuk fotosintesis sebagian besar diterima dan diserap oleh daun tanaman, maka daun dan keadaan daun tanaman menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap jumlah cahaya yang diterima dan diserap oleh tanaman.
Jumlah dan keadaan daun berbeda-beda antara satu tanaman dengan tanaman lain. Ada tanaman yang memiliki daun yang banyak dan sehat, tetapi ada juga tanaman yang memiliki daun sedikit serta berpenyakit. Ada juga tanaman yang kondisi daunnya di antar kedua ekstrim tersebut. Tanaman yang baru tumbuh memiliki daun yang lebih sedikit dibanding tanaman yang telah dewasa. Tanaman yang telah dewasa memiliki daun yang lebih banyak daripada tanaman yang baru bertumbuh. Daun dan kondisi daun tanaman berbeda-beda pada setiap individu sehingga membentuk suatu variabel.
Sebagai organ penting, daun bertanggung jawab terhadap penerimaan dan penyerapan cahaya untuk proses fotosintesis. Seterusnya, semakin giat kegiatan fotosintesis, maka semakin tinggi fotosintat yang terbentuk. Fotosintat berupa karbohidrat menentukan pertumbuhan, hasil, serta mutu produk suatu tanaman. Dengan demikian, secara logika, daun dan keadaan daun sangat menentukan jumlah dan mutu suatu tanaman, sehingga masuk akal bila kita menggunakan variabel daun sebagai indikator untuk menduga jumlah dan mutu yang dapat diambil dari suatu tanaman. Semakin banyak jumlah daun atau semakin luas jumlah permukaan ke seluruhan kanopi daun tanaman sampai batas tertentu, maka semakin tinggi jumlah dan mutu yang dapat diambil dari suatu tanaman. Sebaliknya semakin sedikit luas permukaan daun, maka semakin rendah jumlah dan mutu yang dapat diambil dari suatu tanaman. Jebbouj (2009) mendapatkan bahwa hasil tanaman barley menurun secara signifikan akibat kehilangan tiga helai daun bagian atas.
DAFTAR PUSTAKA
CoHort Software. 1998. CoStat Version 6.311. Monterey, CA, USA.